JAKARTA – Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut kembali dipertanyakan. Ini setelah 150 laporan hasil analisis (HA) dan hasil pemeriksaan (HP) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tak ditindaklanjuti oleh lembaga antirasuah tersebut. Alasan KPK bahkan tak bisa diterima akal sehat, yakni lupa.
Tidak dilanjutkannya laporan PPATK ini terbongkar usai anggota Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK, Ivan Yustiavandana, yang juga merupakan Kepala PPATK mencecar Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, soal 150 laporan dari pihaknya yang tidak ditanggapi oleh KPK.
Pertanyaan Ivan itu merupakan bagian dari tes wawancara Seleksi Calon Pimpinan (Capim) KPK di gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (18/9/2024).
“Kami dari PPATK mengirimkan surat kepada pimpinan KPK mempertanyakan 150 HA dan HP yang tidak ditindaklanjuti. Itu tanggapan bapak apa? Artinya kalau bisa ada resource, keyakinan saya resource bapak tuh banyak yang waste,” ujar Ivan bertanya kepada Johanis Tanak dalam tes wawancara Seleksi Capim KPK.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Johanis Tanak mengatakanKPK sebenarnya telah menerima laporan tersebut. Namun, terkadang terlupakan karena terlalu banyak pekerjaan.
“Dan memang biasanya kami karena banyak juga pekerjaan, sehingga biasa terlupakan,” kata Tanak.
Pernyataan dari Johanis Tanak secara tidak langsung memercikkan bara api ke lembaga yang dipimpinnya. Jelas ini bisa dibaca bahwa KPK sebenarnya tidak becus atau abai dalam menindaklanjuti laporan dari PPATK, yang merupakan tugas atau kewenangan KPK.
“Itu jawaban yang tak pantas dari seorang pimpinan KPK,” ujar Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, kepada Tirto, Kamis (19/9/2024).
Pria yang akrab disapa Castro itu mengatakan, bagaimana mungkin perkara-perkara urgen yang tidak ditindaklanjuti semacam ini justru dijawab dengan alasan lupa. Maka, kata dia, orang semacam ini tidak layak memimpin KPK.
“Sayang, kenapa Pansel Capim KPK meloloskannya. Apa mereka juga lupa dosa Johanis Tanak?” ujar Castro mempertanyakan.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, mengatakan antara lupa atau tidak mau ditindaklanjuti, tentu satu hal berbeda. Karena sebagai lembaga yang besar seperti KPK, tentu seharusnya punya mekanisme untuk menidaklanjuti laporan dari pihak manapun.
KPK, kata Agus, pasti memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas. Mulai dari kapan laporan itu diterima dan laporan ditindaklanjuti untuk didalami.
“Jadi aneh jika ada pimpinan KPK bisa lupa dalam menanggapi laporan, padahal laporan dari sesama lembaga negara. Laporan dari lembaga negara saja lupa, bagaimana dengan laporan dugaan korupsi dari masyarakat,” jelas dia kepada Tirto, Kamis.
Menurut Agus, hal yang terjadi seperti ini tidak boleh terulang. Karena bagaimana publik mau percaya jika pimpinannya saja lupa pada laporan yang seharusnya mereka tindaklanjuti.
Maka, sambung Agus, ini adalah momentum seleksi Capim KPK harus dimanfaatkan panitia seleksi untuk memilih calon pimpinan yang lebih profesional, berintegritas, dan berani mengungkap kejahatan korupsi. Bukan sebaliknya justru menunda atau mengabaikan hasil laporan-laporan yang masuk ke lembaga antirasuah tersebut.
Menambah Buruk Kinerja KPK
Jawaban pimpinan KPK itu menurut Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menjadi kesalahan yang berdampak luas pada organisasi secara keseluruhan.
“Ini menunjukkan bahwa kinerja lembaga antirasuah itu semakin buruk. Apalagi ketika ada laporan dari PPATK yang justru tidak ditindaklanjuti. Apalagi itu bisa sampai LA dan HP,” imbuh Zaenur kepada Tirto, Kamis.
Zaenur menuturkan, pada prinsipnya semua bentuk informasi itu harus diregistrasi, ditelaah, dan direspons. Apakah responsnya itu ditindaklanjuti atau nantinya tidak ditemukan unsur tindak pidana, maka harus ada konfirmasi status atas laporan dari PPATK oleh KPK.
“Jadi kalau jawabannya adalah lupa, itu adalah jawaban orang ingin menghindar dari tanggungjawab,” jelas dia.
Zaenur menegaskan, lupa bukan jawaban yang dapat diterima atas sebuah laporan. Pasalnya laporan itu harus ada statusnya.
“Kalau misal laporan [yang] diberikan itu dianggap tidak memiliki unsur pidana, itu pun menurut saya sudah merupakan bentuk penetapan status, sudah satu bentuk telaah dari KPK. Dengan pengabaian itu menunjukkan bahwa KPK tidak menjadikan laporan dari PPATK informasi yang penting,” kata dia.
Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, menambahkan jawaban sekelas pimpinan KPK tersebut memang tidak masuk akal dan tidak bisa diterima. Karena menurutnya, alasan lupa justru terkesan mengada-ngada.
“Tentu harus dicek lah. Bagaimana kan PPATK tahu mereka kirimkan berapa hasil analis mereka, laporan mereka kepada KPK,” ujar Yudi kepada Tirto, Kamis.
Yudi mengatakan, persoalan ini menjadi masalah krusial. Karena laporan PPATK tentu saja terkait dengan dugaan pencucian uang atau orang-orang melakukan perbuatan korupsi yang kemudian hasil dari korupsinya dilakukan pencucian uang.
“Jadi saya pikir KPK juga harus transparan ya terhadap PPATK. Karena kan tentu PPATK ini petunjuk yang sudah dilakukan analis. Jadi kalau ke KPK tentu hasil pencucian uangnya dari korupsi,” ujarnya.
Seharusnya, kata Yudi, sejak awal menerima laporan dari PPATK, KPK sudah menindaklajuti sampai kepada proses orang-orangnya siapa. Dan hasil akhir tindak lanjutnya seperti apa, harusnya KPK sudah ada. Bukan sebaliknya justru diabaikan.
“Jadi saya pikir alasan lupa adalah alasan yang mengada-mengada,” tambahnya.
Dewas Harus Audit Kinerja KPK
Oleh karena itu, lanjut Yudi, Dewan Pengawas (Dewas) KPK punya peran melakukan audit kinerja, khusus laporan PPATK ini. Pasalnya ini adalah sinergi dari dua lembaga yang seharusnya saling terintegrasi.
“Jangan sampai memalukan bagi KPK, sampai ini diungkap ke publik ketika kemarin di pansel ditanya langsung oleh Ketua PPATK sendiri yang merupakan salah satu anggota pansel,” jelas dia.
Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengamini bahwa Dewan Pengawas harus mengaudit kinerja KPK karena mengabaikan temuan PPATK. Apalagi alasannya karena lupa.
“Saya yakin bukan dilupakan karena tidak ditindaklanjuti dan padahal itu adalah tugas KPK untuk tindaklanjuti temuan-temuan itu, termasuk temuan masyarakat, apalagi temuan PPATK,” kata dia.
Boyamin justru menduga, jangan-jangan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga diabaikan oleh KPK. Mengingat, posisi KPK hari ini tampak diisi oleh orang-orang yang justru melemahkan KPK.
“Maka saya minta siapapun dari KPK jangan lolos menjadi Capim KPK dalam periode akan datang. Jadi digugurkan saja semua,” pungkasnya.
Respons KPK
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, membantah pihaknya tak menindaklanjuti HA dan HP dari PPATK. Menurutnya, ratusan data yang diberikan oleh PPATK saat ini masih dianalisis di Direktorat Penerimaan Layanan Pengaduan Masyarakat (PLPM).
“Jadi sebetulnya sedang ditelaah di PLPM, yang nanti akan menjadi dasar untuk naik perkara ke penyelidikan,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip Kamis.
Ia mengeklaim, kerja sama antara penyidik KPK dengan PPATK selama ini berjalan dengan baik. Menurut dia, banyak dari pihak bagian penyidikan yang proaktif untuk meminta hasil analisis ke PPATK.
“Misalkan ada perkara yang sedang running, ini nanti kami minta ke PPATK hasil analisisnya, dan itu kerja sama yang sangat baik,” tuturnya.
“Jadi nanti disampaikan kepada kita seperti apa analisis keuangan dari tersangka dan lain-lain. Sehingga itu memudahkan untuk men-trace keuangannya, termasuk juga TPPU-nya, seperti itu,” lanjut dia.(tir/bc)