Hukum

Saksi KDRT Keberatan Pemeriksaan Berlebihan, Erwin : Saya Merasa Dipaksa Akui Jemput Sherly

×

Saksi KDRT Keberatan Pemeriksaan Berlebihan, Erwin : Saya Merasa Dipaksa Akui Jemput Sherly

Sebarkan artikel ini
Erwin Henderson (tengah) didampingi Penasehat Hukumnya, Khilda Handayani SH MH dan Yogi Pratama SH MH saat wawancara di Medan, Senin (21/10/2024).
Erwin Henderson (tengah) didampingi Penasehat Hukumnya, Khilda Handayani SH MH dan Yogi Pratama SH MH saat wawancara di Medan, Senin (21/10/2024).

MEDAN – Erwin Henderson mengungkapkan kecewa besarnya atas tindakan oknum polisi di kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan adik iparnya.

Menurut warga Deli Serdang ini, dirinya hanya mengantarkan istrinya, Yanty, ke rumah adik iparnya, Sherly, yang diduga menjadi korban penganiayaan oleh suaminya, R.

Namun, ia mengklaim dipaksa untuk mengakui hal yang tidak pernah terjadi pada saat dimintai keterangan menjadi saksi pada perkara LP 1099 dan R sebagai Pelapor.

“Saya hanya mengantarkan istri saya, Yanty, atas permintaan Sherly. Namun, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya menjemput Sherly,” ungkap Erwin dengan nada kecewa, saat didampingi Penasehat Hukumnya Khilda Handayani, SH., MH , di Medan, Senin (2/10/2024).

Erwin dipanggil sebagai saksi terkait laporan dugaan KDRT dengan R selaku pelapor pada perkara LP 1099. Namun, Erwin merasa perlakuan yang diterimanya sangat berlebihan, seperti seorang pelaku kriminal.

“Pemanggilan saya terkesan berlebihan. Saya dijemput tiga orang dari Polrestabes dan tiga orang lagi dari Polsek Binjai, seolah saya ini teroris. Saya benar-benar merasa dipermalukan,” tutur Erwin.

Ia mengatakan, dirinya dipanggil sebagai saksi berdasarkan Surat Perintah Membawa (SP Bawa) Nomor: SP Bawa / 1103 – B / X / Res. 1.6 / 2024 / Reskrim, membawa Erwin sebagai saksi.

Dalam surat tersebut disebutkan bahwa pemanggilan dilakukan karena Erwin tidak hadir dalam panggilan sebelumnya tanpa alasan yang wajar. Namun, Erwin meragukan keabsahan surat tersebut.

“Saya heran, surat perintah itu tidak mencantumkan tanggal, hanya bulan September 2024, tetapi baru dilaksanakan pada 21 Oktober 2024. Ini jelas-jelas aneh,” ungkal Erwin kesal.

Erwin Henderson berharap agar Presiden Prabowo Subianto dapat melakukan pembenahan terhadap oknum-oknum polisi, yang dinilainya nakal dan bertindak semena-mena.

“Saya ingin negara kita ini tidak dikuasai oleh oknum-oknum yang bertindak sewenang-wenang,” tegasnya.

Erwin juga menjelaskan, dalam proses interogasi, ia merasa dipaksa untuk memberikan kesaksian yang sesuai dengan keinginan penyidik.

“Saya dipaksa untuk memberikan kesaksian sesuai dengan apa yang mereka mau, padahal faktanya tidak demikian. Ini jelas-jelas sebuah upaya pemaksaan,” kata Erwin.

Ia pun menyampaikan ketidakpuasannya terhadap penyidik yang menangani kasus tersebut.

“Dari awal saya masuk, saya diperlakukan seperti pelanggar lalu lintas yang tidak memakai helm, yang menunjuk-nunjuk kesalahan orang padahal kan saya sebagai saksi, kok malah dikonfrontir,” beber Erwin.

Ditambahkannya, ia akan menyerahkan kasus ini kepada kuasa hukumnya untuk menindaklanjuti dugaan ketidakberesan dalam proses hukum tersebut.

“Saya berharap tindakan seperti ini tidak dibiarkan terus terjadi,” tutupnya.

Di sisi lain, Erwin juga mengungkapkan keheranannya kepada PPA Polrestabes, seharusnya bertugas untuk melindungi kaum perempuan.

“Heran saja lihat UPPA. Seharusnya Sherly yang dilindungi karena dia perempuan. Kok malah R yang lebih dipentingkan,” ungkap Erwin.

Sementara itu, Khilda Handayani SH MH, selaku kuasa hukum Erwin Henderson,
menyatakan penjemputan adalah hak dari penyidik kepolisian yang diatur dalam Pasal 112.

Namun, pihaknya menyayangkan cara penjemputan yang dilakukan petugas dalam kasus ini terkesan tidak proporsional.

“Kalau kami berpendapat, penjemputan itu merupakan hak penyidik kepolisian, yang juga diatur dalam Pasal 112. Kami tidak mengingkari hal tersebut, benar adanya. Namun, kami sangat menyayangkan cara penjemputan yang dilakukan hari ini, terkesan tidak profesional,” kata Khilda.

Ia juga menjelaskan ketidakhadiran Erwin mereka pada panggilan pertama dan kedua, sudah disampailan melalui surat resmi dengan berbagai faktor pendukung.

“Kami bersurat dan memberitahukan bahwa klien kami tidak dapat hadir karena ada hal-hal lain yang menjadi faktor pendukung. Misalnya, pada tanggal 2 Juli 2024, klien kami, Sherli, yang merupakan terlapor pada LP 1099 oleh pelapor R, telah mengajukan pengaduan masyarakat ke Bapak Dirkrimum Polda Sumut agar LP tersebut ditarik ke Polda Sumut. Sampai dengan hari ini, kami belum menerima surat pemberitahuan perkembangan hasil dumas. Kami sangat menyayangkan tindakan ini,” jelas Khilda.

Ia kembali menegaskan bahwa ketidakhadiran Erwib pada panggilan pertama dan kedua sudan dengan alasan yang jelas.

“Namun, tindakan membawa paksa ini seolah-olah mengabaikan komunikasi yang telah kami lakukan,” sambungnya.

Dikatakan Khilda, sikap Erwin yang keberatan untuk hadir, sudah disampaikan secara resmi kepada pihak PPA.

“Jadi, tindakan penjemputan hari ini di luar konteks yang kami harapkan,” tegasnya.

Ia menyoroti bahwa seharusnya pihak kepolisian lebih mengedepankan pendekatan yang berbasis pada hak asasi manusia.

“Proses hukum harusnya memberikan perlindungan bagi semua pihak, terutama bagi saksi yang memberikan keterangan. Klien kami seharusnya diperlakukan dengan hormat dan tidak diperlakukan seperti pelanggar hukum,” tegasnya.

“Kami akan menyampaikan semua kejanggalan ini kepada pihak yang berwenang dan mempertimbangkan untuk melapor ke Propam jika diperlukan. Kami ingin memastikan bahwa semua proses dilakukan dengan adil,” ujarnya.

Senada, kuasa hukum lainnya, Yogi Pratama SH, menambahkan bahwa tindakan pemanggilan yang berulang kali tanpa alasan yang jelas adalah cacat hukum.

“Kami sudah menyampaikan ketidakhadiran klien kami dengan surat resmi, yang menunjukkan itikad baik. Dalam hukum acara pidana, seharusnya ada pertimbangan yang matang sebelum melakukan pemanggilan paksa,” kata Yogi.

Ia juga menegaskan pentingnya menghormati prosedur hukum yang berlaku.

“Dua kali pemanggilan saksi yang tidak dihadiri seharusnya ditindaklanjuti dengan cara yang lebih manusiawi. Kami berpendapat bahwa tindakan ini melampaui batas kewenangan, dan kami siap untuk mengajukan keberatan secara hukum,” tegasnya.

Yogi mengingatkan bahwa keadilan harus ditegakkan untuk semua pihak, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, yang seringkali melibatkan trauma bagi korban dan keluarganya.

“Kami berharap pihak kepolisian dapat lebih berhati-hati dan peka terhadap situasi yang dihadapi oleh saksi dan korban, agar proses hukum tidak menambah beban psikologis mereka,” ujarnya.

Sementara itu, Humas Polrestabes Medan Iptu Ade Nasty yang dikonfirmasi media, belum merespon. (Red)