JAKARTA – Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Officium Nobile menyelenggarakan seminar bertajuk “Menyongsong Penerapan KUHP Baru” di Hotel Dharmawangsa Jakarta dengan fokus utama penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru.
Seminar dibuka oleh Ketua Panitia, Dimas D Rangga Indartono, S.H., LL.M, dan Ketua DPC AAI Jakarta Alfin Sulaiman, S.H., M.H. Selanjutnya jeynote speech disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat AAI Officium Nobile, Dr. Palmer Situmorang, S.H., M.H., yang menekankan pentingnya kesiapan para advokat dalam menghadapi perubahan hukum pidana materiil dalam KUHP Baru.
Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Asep N Mulyana menegaskan bahwa sosialisasi KUHP baru merupakan bagian dari tugasnya yang masih menjabat sebagai Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Ia menyoroti adanya lompatan paradigma dari KUHP lama, Wetboek van Strafrecht, yang diadaptasi dari Code Penal Napoleon dan berfokus pada penghukuman retributif. “Paradigma lama ini sering menyebabkan kasus-kasus seperti yang menimpa Nenek Minah, di mana pendekatan kepada penghukuman retributif dan tidak mempertimbangkan aspek keadilan restoratif,” ujarnya.
Menurut Prof. Asep, perubahan paradigma ini penting karena masih ada Aparat Penegak Hukum (APH) yang menerapkan pendekatan lama. “Masih ada turunan yang harus dibuat, saat ini kami sedang menyusun lima Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait KUHP Baru, yang salah satunya merupakan amanat Pasal 2 ayat 3 KUHP Baru tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat,” jelasnya.
Kejaksaan juga saat ini tengah menyusun pedoman pidana bersyarat dan pidana kerja sosial, dengan referensi salah satunya dari perbandingan dengan negara-negara seperti Belgia dan Belanda. “Rasio ideal antara sipir dan tahanan di negara-negara tersebut bisa menjadi acuan. Bukan karena jumlah pidana menurun, tetapi karena paradigma hakim dan jaksa sudah berubah sejak amandemen keenam KUHP Belanda pada tahun 1997,” kata Prof. Asep.
Ia juga menyoroti bahwa dalam KUHP Belanda sudah ada alternatif penyelesaian di luar pengadilan seperti mekanisme Transactie atau Deferred Prosecution Agreement, sementara saat ini Indonesia masih menggunakan KUHP lama. “Hal ini menimbulkan masalah, karena sebanyak apa pun kita membangun lembaga pemasyarakatan, tidak akan cukup dan biayanya mahal,” tegasnya.
Sebagai salah satu penyusun Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN) 2025-2045, Prof. Asep menjelaskan arah politik hukum pidana ke depan. “Tujuan pembangunan hukum ke depan adalah penerapan pendekatan keadilan restoratif dan optimalisasi peran lembaga adat serta lembaga terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa,” paparnya.
Ia juga menyebutkan bahwa ke depan, paralel dengan RUU Perampasan Aset yang saat ini sudah berada di DPR, akan ada mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture atau pendekatan in rem. “Perkembangan baru ini memungkinkan penyitaan aset tanpa harus menunggu putusan pidana. Sebagai contoh saat ini pendekatan pada Pasal 44B UU HPP, di mana telah ada ketentuan denda damai yang menjadi alasan penghentian penuntutan. Ini adalah contoh perkembangan regulasi yang signifikan,” ujarnya.
Perubahan sistematika dalam KUHP baru juga dibahas, termasuk perubahan konsep percobaan yang menambah perbuatan persiapan dan perluasan definisi permufakatan jahat. “Ada juga pidana kerja sosial, yang saat ini diuji coba dalam penerapan keadilan restoratif, ditambah dengan kewajiban kerja sosial,” kata Prof. Asep.
Ia menekankan bahwa penerapan KUHP Baru perlu diiringi perubahan dalam tiga aspek: substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structures), dan budaya hukum (legal culture). “Semua ini perlu ikut berubah, karena KUHP baru juga sudah mengakomodasi living law atau kearifan lokal, tidak hanya berpegang pada asas legalitas semata,” tambahnya. Saat ini, Kejaksaan juga sedang menguji coba sanksi kerja sosial melalui kerja sama antara Kejaksaan Negeri dengan beberapa UPT Dinas di daerah.
“KUHP baru juga mengenal pemaafan peradilan (judicial pardon), yang memberikan ruang bagi hakim untuk memberikan pemaafan berdasarkan pertimbangan tertentu,” jelasnya. Hal baru terkait pertanggungjawaban pidana korporasi, Prof. Asep menjelaskan bahwa perkembangan hukum saat ini tidak hanya mencakup corporatie misdaad dan crime for corporation, tetapi juga sanksi terhadap korporasi yang tidak mencegah terjadinya tindak pidana. “Ini memperluas cakupan tanggung jawab korporasi dalam sistem hukum kita,” katanya.
Dalam sesi tanya jawab, sejumlah peserta mengajukan pertanyaan terkait penerapan KUHP baru. Salah satu pertanyaan datang dari seorang advokat yang menyoroti potensi risiko terhadap profesional akibat pasal yang mengatur tentang pemberian keterangan yang tidak benar dalam gugatan atau permohonan cerai. Menanggapi hal tersebut, Prof. Asep menjelaskan bahwa unsur-unsur dalam pasal tersebut harus dibuktikan secara cermat, dan tidak serta merta mengkriminalisasi advokat yang melakukan tugasnya dengan itikad baik.
Peserta lain mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan penerapan keadilan restoratif antara kepolisian dan kejaksaan. Prof. Asep menjelaskan bahwa Kejaksaan memiliki pedoman dan standar tertentu dalam menerapkan keadilan restoratif, dan upaya harmonisasi regulasi antara aparat penegak hukum terus dilakukan untuk mencapai keselarasan dalam sistem peradilan pidana.
Seminar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi para advokat, praktisi hukum, dan seluruh stakeholder lainnya dalam menyongsong berlakunya KUHP Baru.(Bc)